Kisah yang terjadi di Sumatera Timur yang menimpa beberapa kesultanan di sepanjang pantai Timur yang ada di Sumatera, kesultanan yang masih berafiliasi dengan kesultanan Malayu Deli, di bantai hingga hilang tapak sejarah yang menunjukan kekuasaan para sultan di pesisir pantai timur, termasuk Kesultanan Asahan yang hingga tidak tidak terlihat tapak sejarahnya.
Raja – Raja Melayu yang berada di Sumatera Timur yang di bantai dengan dalih Revolusi Sosial merupakan kisah tragis yang menghilangkan terah Sultan Melayu
Tragedi Sumatera Timur
Pembantaian terhadap raja-raja Melayu dan golonga bangsawan Melayu yang terpelajar di Sumatera dan Kalimantan oleh pihak yang menamakan dirinya sebagai golongan Nasional Indonesia sekitar 1946 dan 1960-an.
Berikut adalah beberapa ringkasan cerita tentang peristiwa-peristiwa sadis yang terjadi di kerajaan-kerajaan Melayu Islam yang telah diserang oleh para manusia-manusia kejam. Peristiwa ini terjadi hampir bersamaan di Sumatera yaitu pada Maret 1946 dan kemudian pada 1960-an terjadi di kerajaan Melayu yang ada di Kalimantan.
Di Kota Berastagi, para pemuda nasionalis menangkap dan mengasingkan para raja Urung dan Sibayak yang di undang ke sebuah majelis. Sekitar 17 orang Raja di tangka dan di asingkan ke Aceh, nasib mereka tidak diketahui. Bangsawan dan Datok Tumenggung di PENGGAL KEPALANYA. Raja Raja DISEMBELIH di Jembatan besar, Raja Silimakuta dilindungi TKR, tapi seluruh keluarnya di bunuh, ada yang di BAKAR HIDUP HIDUP dan ada yang di Penggal kepalanya.
KERAJAAN SIMALUNGUN
Barisan Harimau Liar pada Malam 3 Maret menangkap Raja Kerajaan Pane beserta keluarganya, lalu merampas harta benda mereka. Raja dan keluarganya dibawa ke tempat pesta, kemudian mereka DIBUNUH dengan kejam.

KESULTANAN ASAHAN, TANJUNG BALAI
Pada pukul Enam Pagi, Istana diserang sekelompok orang yang menamakan dirinya Nasional Pelopor Indonesia (Napindo), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Ku Tui Sin Tai (Barisan Harimau Liar), Barisah Merah/Partai Komunis Indonesia, Hizbullah, dan buruh-buruh Jawa.
Seluruh keluarga dan kerabat kesultanan Melayu Islam serta orang-orang yang bekerja di Istana ditangkap. Harta benda mereka dirampas. Sultan Sjaiboen Abdoel Djalil Rachmatsjah, Sultan Asahan sempat melarikan diri dari belakang Istana.

KESULTANAN KUALUH
Ketika Seluruh Penguhi Istana sedang tidur, Istana di serbu oleh sekelompok orang bersenjata tajam. Malam itu, Istana diobrak abrik. Tengku Al Hadji Moehammad Sjah, Sultan Kualuh dibawa ke kuburan Cina, tak jauh dari Istana.
Tengku Besar juga di jemput dari rumah istrinya dan dibawa ke tempat yang sama. Mereka DISIKSA DENGAN KEJAM, Lalu di tinggalkan. Tengku Hasnan, Tengku Long, serta seluruh Keluarganya DIPENGGAL KEPALANYA. Sebanyak 73 Orang bangsawan dan krabat kerajaan Melayu yang menjadi korban malam itu.
KESULTANAN MELAYU DELI
Tokoh Persatuan Perjuangan (PP), yang didirikan oleh Tan Malaka, dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) menyerang istana Deli, Istana di serang tetapi Sultan selamat dengan bantuan pasukan Inggris dan tentara kerajaan.
Namun Bangsawan, Datuk, dan orang-orang yang memiliki nama depan WAN dan warga Melayu Deli di luar Istana Maimun banyak yang DIBUNUH.
KESULTANAN MELAYU SERDANG
Sultan dan Keluarganya hanya ditahan di Istananya di perbaungan. Sultan Serdang dipandang lebih berpihak kepada Republik, banyak orang yang melindungi dan menjaga istananya. Sehingga Sultan Serdang selamat dari pembantai beruntun tersebut.
KESULTANAN MELAYU LANGKAT
Pesindo menangkap 21 orang kerabat istana. Istana Sultan Langkat di Tanjung Pura dan di Kota Binjai DIRAMPOK, Seluruh bangsawan-bangsawan Langkat ditangkap dan sebagian besar DIBUNUH DENGAN KEJAM termasuk pujangga besar Tengku Amir Hamzah, Puteri – puteri Sultan Langkat DIPERKOSA DI HADAPAN MATA AYAHANDA MEREKA, Sultan Langkat dan Putra Mahkota yang masih belia hilang hingga saat ini. Tengku Kamil, Ahli keluarga Kesultanan Langkat wafat setelah di TEBAS dengan parang. Semua Tengku, Datuk, Wan dan Keluarga Istana Mati dibunuh. Kesultanan Melayu Langkat PALING BANYAK DIBUNUH PKI dan Pesindo.
KESULTANAN MELAYU BULUNGAN, KALIMANTAN,(18 JULAI 1964)
Sepasukan tentera dari satuan tempur Brawijaya 517 mengepung istana Kesultanan Bulungan. Masyarakat yang sedang mengambil wudhu di Sungai Kayan untuk solat subuh terkejut melihat banyaknya tentera.
Dan sekitar pukul enam pagi, seluruh masyarakat di Tanjung Palas dikumpulkan di depan istana. Mayor Sumina Husain, Komandan Kodim 0903 Bulungan di Tanjung Selor, berkata “Para bangsawan Bulungan ingin memberontak terhadap pemerintah Republik Indonesia.”
Namun, Datuk Taruna, bangsawan Bulungan, menyanggahnya. Letnan B. Simatupang marah, lalu memerintahkan seorang polis M. Ramli untuk MENEMBAK Datuk Taruna yang akhirnya rebah bersimbah darah.
Istana dan harta benda dijarah. Satu per satu bangsawan Bulungan hilang. Sisanya ditangkap dan DIBUNUH. Kemudian pada malam Sabtu, 18 Julai 1964, istana Raja Muda pun dibakar. Istana Bulungan bertingkat dua itu dibakar selama dua hari dua malam hingga rata.
————————————–
Penghapusan etnik yang kononnya dikatakan sebagai Revolusi Sosial di Indonesia ini menghasilkan begitu banyak pembunuhan, dan kekacauan. Dokumen Belanda menyatakan bahawa revolusi ini menelan korban sebanyak 1200 orang di Asahan saja.
Belum lagi di daerah lain. Kaum bangsawan Melayu di beberapa daerah termasuk perempuan dan anak-anak ditangkap dan dibawa ke Concentration Camp di Simalungun dan Tanah Karo. Kaum non-pribumi pun tidak terkecuali, Cina dan India banyak menjadi korban.
Kaum bangsawan dinista dan dicacimaki sebagai orang bodoh dan pemalas serta berada dalam kemiskinan dan tidak mendapat bantuan Negara dan di negerinya sendiri.
Dua generasi orang Melayu hampir KEHILANGAN IDENTITAS mereka. Mereka TAKUT MENGAKU MELAYU, takut memakai baju teluk belanga dan sengaja menambah gelar keturunan Batak di depan namanya supaya boleh masuk sekolah atau diterima di pejabat pemerintahan.
Mereka menghilangkan gelaran Tengku, Wan, OK dan Datuk kerana takut dicaci sebagai feudal, bahkan kaum Melayu yang bukan bangsawan tetapi bekerja dengan para Sultan dan Tengku pun turut ditindas.
Banyak dari mereka berhijrah ke Semenanjung, terutama di Kedah dan Perak kerana masih erat hubungan kekerabatan. Sebahagian lagi pergi ke Belanda.
Kalau kita baca di Wikipedia atau buku-buku sejarah sekolah Indonesia, pasti akan tertulis yang revolusi ini terjadi kerana para sultan Melayu serta raja-raja Simalugun dan Karo banyak menindas rakyat miskin dan tidak mempedulikan rakyat mereka yang dalam kesusahan atau mereka bersubahat dengan penjajah.
Ternyata hal ini adalah propaganda dari pihak pemerintah yang pada masa itu agak Pro-komunis. Dalam penulisannya berjudul “Revolusi Sosial Berdarah di Simalungun Tahun 1946”, Paderi Juandaha Raya Purba Dasuha menuliskan kisah sebenar yang berlaku.
Dia membantah sebutan ‘Raja-raja menindas rakyat’ yang selama ini disebut-sebut sebagai pembenar pembantaian kejam tersebut. Hal ini kerana yang bangkit menyerang raja-raja Simalugun, Melayu dan Pane misalnya adalah para pedatang Tapanuli dan Jawa yang telah diberikan tanah dan sawah oleh pemerintah melayu dan raja-raja Panei.
Menurut Tengku Haniah salah seorang kerabat Kesultanan Asahan yang sudah berumur lebih 85 tahun, jika benar mereka mahu menghapuskan kerajaan monarki atau Kesultanan, mengapa Kesultanan Jogjakarta Jawa dibiarkan! “Apapunlah alasan mereka, pembunuhan dan perompakan itu tetap satu kejahatan” ujar Haniah.
Seorang puteri bangsawan yang pada usia mudanya hidup senang, demi bertahan hidup, setelah kehilangan seluruh harta bendanya, Haniah bekerja menggulung rokok malah membuat bunga dari plastik untuk mencari sesuap nasi.
Walaupun revolusi yang hampir sama berlaku di Kesunanan Surakarta, namun yang menjadi mangsa hanyalah beberapa penasihat sultan dan pekerja-pekerja istana.
Keluarga sultan serta para bangsawan tertinggi tetap dilindungi tentera kerajaan Indonesia. Namun raja-raja Melayu dibiarkan untuk mempertahankan diri mereka dan keluarga mereka sendiri.
Sebenarnya para pembaca sekalian, satu perkara yang saya mahu tekankan tentang peristiwa ini adalah hakikat bahawa negeri-negeri Melayu yang terlibat ini semuanya adalah negeri yang tersangat-sangat kaya dengan hasil perlombongan, getah, sawit, tanaman-tanaman komersil seperti kopi, koko dan lada malah telaga minyak!
Di negeri-negeri ini wujud pekan-pekan, pelabuhan serta bandar yang makmur dan indah, malah para sultan mempunyai kapal dagang dan kapal wap masing-masing seperti Sultan Langkat dan Sultan Bulungan. Kekayaan negeri-negeri Melayu ini sentiasa di cemburui oleh pihak-pihak tertentu.
Betul lah kata seorang pengkaji sejarah bahawa orang Melayu ini walau dimanapun dia tercampak dan membuka kerajaan, pasti kerajaan itu akan jadi, terkenal, kaya dan menjadi pusat perdagangan yang masyhur.
Contohnya lihat sahaja Parameswara yang membuka Melaka, kemudian keturunannya Sultan Alauddin yang membuka Johor, kerabat-kerabat Melayu dari Semenanjung dan Sumatera yang berhijrah ke kepulauan Filipina dan Kalimantan Selatan dan membuka kerajaan-kerajaan baru. Kebanyakannya menjadi pusat persinggaan dan perdagangan yang maju.
Oleh sebab itu pada pendapat penulis, peristiwa, pembunuhan hampir seluruh sultan-sultan Melayu dan kaum bangsawan serta kerabat, bukan hanya satu revolusi sosial, sebaliknya sebagai satu cover up oleh pihak tertentu dari belakang tabir atau hidden hand yang menggunakan nama pejuang nasionalis kemerdekaan Indonesia untuk mendapatkan kekayaan raja-raja Melayu dan hasil mahsul negeri mereka serta menghapuskan kedaulatan dan keturunan raja-raja Melayu.
Begitulah sedikit sebanyak peristiwa operasi terancang untuk menghapuskan kerajaan-kerajaan etnik Melayu dan yang dekat dengannya atas sebab-sebab yang masih kurang jelas sehingga sekarang.
Sebenarnya tidak ada sebarang justifikasi yang boleh diberikan terhadap peristiwa ini kerana ia terang-terangan adalah serupa dengan penghapusan etnik.
Walau apa pun alasan yang diberi untuk mengelak dari memperkatakan mengenainya, konflik diantara ketuanan Melayu dengan ketuanan Jawa di Nusantara ini adalah sesuatu yang realiti dan sudah sekian lama berlaku.
Sejak ekspedisi Srivijaya terhadap pulau Jawa dan diikuti pula dengan ekspedisi Pamalayu oleh Majapahit, konflik ini sudah bermula, walaupun dua suku besar Nusantara ini adalah dari rumpun yang sama. Sekian.
Wallah hu a’lam.